Ketika dunia
pendidikan kembali dituding telah gagal membentuk watak mulia pada anak didik.
Maka, seperti biasa, segera muncul saran untuk memperbaiki kurikulum atau
muatan pada mata ajaran. Tapi, bila sebelumnya yang dipersoalkan hanya sebatas
masalah mata pelajaran atau paling jauh struktur kurikulum, Ajip Rosidi dan
mungkin banyak dari kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan, mempersoalkan hal
yang lebih mendasar. Yakni tentang sistem pendidikan nasional yang ditudingnya
masih mewarisi sistem pendidikan kolonial.
Diakui atau
tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang adalah
sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Bila disebut bahwa sistem
pendidikan nasional masih mewarisi sistem pendidikan kolonial, maka watak
sekuler-materialistik inilah yang paling utama, yang tampak jelas pada
hilangnya nilai-nilai transedental pada semua proses pendidikan.
Sistem
pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang
sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan
teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan menghasilkan dikotomi
pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun, yakni antara pendidikan “agama”
di satu sisi dengan pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan agama melalui
madrasah, institut agama dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama,
sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah dan kejuruan
serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Disadari
atau tidak, berkembang penilaian bahwa hasil pendidikan haruslah dapat
mengembalikan investasi yang telah ditanam. Pengembalian itu dapat berupa gelar
kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi yang
telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai
transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar
penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada
faktanya bernilai materi juga.
Pendidikan
Sekuler bagian dari Kehidupan Sekuuler
Sistem
pendidikan yang material-sekuleristik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan
bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga
sekuler. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam
memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang,
termasuk bidang pendidikan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian
Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Maka, di
tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang
jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku
politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik
dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma
pendidikan yang materialistik.
Solusi
Fundamental
Pendidikan
yang materialistik adalah buah dari kehidupan sekuleristik yang terbukti telah
gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang
Abidu al-Shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama,
paradigma pendidikan yang keliru dimana dalam sistem kehidupan sekuler, asas
penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Tujuan pendidikan yang ditetapkan juga
adalah buah dari paham sekuleristik, yakni sekedar membentuk manusia-manusia
yang berpaham materialistik dan serba individualistik.
Kedua,
kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni (1) kelemahan
pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta
tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan
sebagaimana mestinya, (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung, dan (3)
keadaan masyarakat yang tidak kondusif .
Tidak
berfungsinya guru/dosen dan rusaknya proses belajar mengajar tampak dari peran guru
yang sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan
(transfer of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer
ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality), karena memang
kepribadian guru/dosen sendiri banyak tidak lagi pantas diteladani.
Lemahnya
pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orang tua dalam
sikap keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi
rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan.
Sementara
itu, masyarakat yang semestinya menjadi media pendidikan yang riil justru
berperan sebaliknya akibat dari berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak
dari penataan semua aspek kehidupan baik di bidang ekonomi, politik, termasuk
tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama;
berita-berita pada media masa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif
seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada masyarakat.
Kelemahan pada unsur keluarga dan masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak
menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik. Maka yang terjadi
kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada pribadi anak didik.
Oleh karena
itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara
fundamental, dan itu hanya dapat diujudkan dengan Oleh karena itu, penyelesaian
problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan
itu hanya dapat diujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali
dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. Sementara
pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan
cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.
Solusi pada
Tataran Paradigmatik.
Secara
paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas aqidah Islam yang bakal
menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum dan
standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar mengajar, termasuk
penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus yang akan
dikembangkan. Sekalipun pengaruhnya tidak sebesar unsur pendidikan yang lain,
penyediaan sarana dan prasarana juga harus mengacu pada asas di atas.
Melihat
kondisi obyektif pendidikan saat ini, langkah yang diperlukan adalah optimasi
pada proses-proses pembentukan kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah) dan
penguasaan tsaqofah Islam serta meningkatkan pengajaran sains-teknologi dan
keahlian sebagaimana yang sudah ada dengan menata ontologi, epistemologi dan
aksiologi keilmuan yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, sekaligus
mengintegrasikan ketiganya.)
Solusi pada
Tataran Strategi Fungsional
Pendidikan
yang integral harus melibatkan tiga unsur pelaksana: yaitu keluarga,
sekolah/kampus dan masyarakat. Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban
berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah
masyarakat. Sementara, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai
yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus
menjadi kurang optimum. Apalagi bila pendidikan yang diterima di sekolah juga
kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Dalam
pandangan sistem pendidikan Islam, semua unsur pelaksana pendidikan harus
memberikan pengaruh positif kepada anak didik sedemikian sehingga arah dan
tujuan pendidikan didukung dan dicapai secara bersama-sama, Kondisi tidak ideal
seperti diuraikan di atas harus diatasi.
Solusi
strategis fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu sistem pendidikan
alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis dan
fungsional, yakni: Pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan dimana semua
komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: (1) kurikulum yang paradigmatik, (2)
guru/dosen yang profesional, amanah dan kafa’ah, (3) proses belajar mengajar
secara Islami, dan (4) lingkungan dan budaya sekolah/kampus yang kondusif bagi
pencapaian tujuan pendidikan secara optimal. Dengan melakukan optimasi proses
belajar mengajar serta melakukan upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif
yang ada, dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada anak
didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah
positif sejalan dengan arahan Islam.
Kedua,
membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar keduanya
dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif
dari faktor pendidikan sekolah/kampus – keluarga – masyarakat inilah yang akan
membuat pribadi anak didik terbentuk secara utuh sesuai dengan kehendak Islam.
Berangkat
dari paparan di atas, maka untuk mewujudkan lembaga pendidikan unggulan yang
dimaksud setidaknya terdapat empat komponen yang harus dipersiapkan guna
menunjang tindak solusif sebagaimana yang digagas, yakni penyiapan kurikulum
paradigmatik, sistem pengajaran, sarana prasarana dan sumberdaya guru/dosen.
(aliya)